Persoalan teologi dalam Islam pada awalnya dipicu oleh persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik. Agak aneh kiranya jika dikatakan bahwa dalam Islam, sebagai agama, persoalan yang pertama kali timbul adalah dalam bidang politik. Tapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Tema teologi yang pertama kali muncul adalah persoalan tentang siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih dalam Islam.
Terhadap persoalan di atas, Khawarij melihat bahwa mereka yang terlibat dalam tahkim itu adalah kafir dalam arti telah keluar dari Islam. Karenanya wajib dibunuh. Sementara itu, Murji’ah mengatkan bahwa orang yang berdosa besar itu tetap mukmin. Adapun dosa mereka terserah Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Mu’tazilah sebagai aliran ketiga mengatakan bahwa orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, melainkan mengambil posisi tengah (al manzilah bain al manzilatain). Persoalan dosa besar ini kemudian berkembang menjadi persolan mengenai hakekat iman. Apakah iman itu melibatkan amal atau sebatas pada tasdiq saja. Pada masa itu, tema seputar iman ini, menjadi kajian teologis yang menarik perhatian aliran-aliran kalam dalam Islam. Sebagai seorang pemikir muslim, Abu Hanifah juga terlibat dalam pengkajian serius dalam persoalan iman. Jadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep iman menurut imam Abu Hanifah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hakikat iman menurut Abu Hanifah, bagaimana hubungan antara iman dan amal, apakah iman itu dapat bertambah dan berkurang dan apakah iman itu diciptakan ?
Setelah mengetahui beberapa beberapa pemikiran Abu Hanifah tentang konsep iman di atas, buku ini berusaha untuk melihat sampai sejuh mana persamaan dan perbedaan pemikiran Abu Hanifah tentang konsep iman itu apabila dibandingkan dengan aliran-aliran kalam, baik yang muncul sebelum ataupun sesudah Abu Hanifah. Analisa perbandingan ini ternyata menunjukan bahwa Abu Hanifah memiliki pemikiran-pemikiran kalamnya sendiri jika dibanding dengan aliran kalam sebelumnya (Khawarij dan Murjiah). Sementara itu aliran kalam yang muncul sesudah Abu Hanifah banyak yang mengacu kepada pemikiran-pemikiran kalamnya, terutama dari kalangan Maturidi Samarkand.