Ulama, kiai, ustaz, guru, dan sebutan-sebutan lainnya yang memiliki peran dalam transmisi keilmuan dan ajaran Islam adalah bagian dari struktur masyarakat yang signifikan dalam membuat konstruksi nilai dan budaya. Mereka, melalui saluran pesantren, madrasah, sekolah, majlis taklim, dan sebagainya, dalam menyampaikan tradisi-tadisi keilmuan Islam dipandang terpengaruh oleh paradigma patriarkis. Oleh karena itu, gerakan kesetaraan dan keadilan gender bukan hanya masalah pengarusutamaan gender dengan cara melibatkan peran perempuan di ranah publik secara kuantitatif, tetapi jauh lebih strategis lagi adalah bagimana terjadinya transformasi pemikiran masyarakat; mereka tidak lagi memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua yang berfungsi sebagai pelengkap kaum laki-laki. Upaya itu akan sangat strategis jika diawali dengan pendidikan kesadaran kritis gender kepada “agen-agen” yang terlibat langsung dalam pembentukan struktur pemikiran kolektif masyarakat.
Pendidikan kesadaran kritis gender (gender critical conciousness) untuk usaha perubahan asumsi, konsepsi, keyakinan, serta persepsi masyarakat tentang perempuan, seperti yang ditegaskan Mansour Fakih, adalah usaha yang lebih strategis untuk sampai pada tujuan gerakan gender. Bagian dari langkah ini telah dilakukan oleh lembaga Rahima Jakarta melalui program Pendidikan Ulama Laki-laki (PUL) untuk wilayah provinsi Banten dengan mengambil fokus tadarus gender dan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan. Karenanya, program yang sangat strategis ini sangat penting untuk diperbincangkan.