Penulis: Asep Yusup Hudayat
Halaman: vi + 172
Ukuran: 14,8 x 21 cm
Harga: Rp. 75.000
Dalam konteks postkolonial, hubungan sastra, memori, narasi, dan teks multilapisnya (palimpsetik) merupakan sumber penting bagi pengartikulasian praktik kolonialisme. Pengartikulasian tersebut dapat dilihat juga melalui lanskap alam sebagai ruang yang dipresentasikan di dalam karya. Lanskap perkampungan dan perkotaan dapat secara efektif digunakan untuk melihat hubungan karya dengan pengalaman sejarah melalui representasinya. Namun demikian, representasi selalu terkait dengan masalah otoritas, termasuk di dalamnya bagaimana seharusnya realitas diangkat ke dalam karya sastra yang berada di bawah pengawasan penguasa dominan. Novel pun pada akhirnya ditempatkan sebagai sumber memori sekaligus nostalgia karena narasi yang digunakannya berfungsi sebagai sarana mengingat. Dalam ranah memori kolektif, mengingat dapat diperebutkan dan dinegosiasikan di ruang publik, seperti juga novel yang mengambil bagian di dalamnya.
Novel Burak Siluman dan Laein Éta Karya Moh. Ambri membuka ruang bagi bersarangnya memori kolektif tradisional kaum pribumi di tengah-tengah kuasa kolonial yang mengontrolnya. Isu mistis atau pertentangan kelas yang diangkat dalam kedua novel tersebut juga erat kaitannya dengan peluang bersarangnya “narasi kelam” melalui indikasi adanya penyembunyian dan pengalihan “narasi kelam” kaum pribumi atas praktik kolonialisme. Masa penciptaan Burak Siluman dan Lain Éta dalam tahun 1932 dan 1934 adalah masa yang terhubung ke titik tertinggi penindasan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi, termasuk tindakan persbreidel-nya.
Dengan demikian, periode tersebut dapat berpengaruh terhadap Moh. Ambri dalam menafsirkan realitas di sekitarnya sehingga karya-karya yang diciptakannya secara variatif menunjukkan: di satu sisi tampak adanya kepatuhan Ambri atas aturan otoritas pemerintah Hindia Belanda mengingat ia bekerja dan menerbitkan karya-karyanya di Balai Pustaka dan harus turut berperan mengontrol pers; di sisi lain, terdapat indikasi adanya kehendak Ambri untuk menyuarakan kesadarannya tentang praktik kolonialisme meski dengan cara yang paradoks: menjauhkan atau menyamarkan narasi-narasi kolonialisme dalam bingkai pertentangan kelas atau mistis.