Mediasi Adat Aceh dalam Penyelesaian Sengketa: Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam

Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejumlah kasus sengketa yang terjadi di Aceh telah diselesaikan secara adat, bukan secara hukum positif. Penyelesaian sengketa melalui proses peradilan adat dengan menggunakan paradigma mediasi antara pihak yang bersengketa memberikan dampak positif tertentu bagi masyarakat Aceh. Adanya sifat kesukarelaan dan partisipasi aktif kedua belah pihak dan masyarakat dalam proses menyelesaikan sengketa, fungsionaris adat yang bersifat aktif mencari fakta, hasil akhir yang mementingkan kembalinya keseimbangan masyarakat yang rusak akibat persengketaan, menjadikan penyelesaian sengketa melalui mediasi dan peradilan adat ini sejalan dengan konsep Restorative Justice.

Sanksi peradilan adat disesuaikan pada pertimbangan fungsionaris peradilan adat atas berat dan ringannya pelanggaran adat yang terjadi. Peradilan adat juga menjadi peringatan awal bagi masyarakat yang melanggar kasus pidana diluar kewenangan peradilan adat. Dari perspektif hukum positif, sebagian penyelesaian sengketa sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, namun sebagian tidak sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, khususnya pada kasus-kasus yang bukan menjadi kewenangan peradilan adat. Adapun dari perspektif hukum Islam, penyelesaian sengketa adat Aceh sebagian sesuai dengan shari‘at Islam, pada kasus-kasus yang berhubungan dengan pelanggaran hak-hak adami, hal ini karena diterapkannya sistem al-sulh dan paradigma ta‘zir dalam pemberian hukuman bagi pelaku.

Penelitian ini mendukung pernyataan para peneliti sebelumnya, yang menyatakan bahwa beberapa sengketa pidana dan perdata diselesaikan secara restoratif, sejalan dengan Chindya Prastiti (2014) pada kasus anak berhadapan dengan hukum, Mustafa Serdar Ozbek (2011), dan Frida Errikson (2010) pada kasus perdata dan pidana, mereka menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui mediasi dan keadilan restoratif menjadi alternatif yang layak dalam sistem hukum positif karena membangun partisipasi yang aktif antara korban, pelaku, dan masyarakat. Penelitian ini menolak pendapat Kathleen Dally (2001), dan Russs Immarigon (1998) bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban, agar menunjukkan pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya hukuman, selain itu, keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji-janji kepada masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *