Nalar Fiqh ‘Ulama’ Kontemporer atas Hukum Jihad: Studi Komparasi Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti dan ‘Abdallah ‘Azzam

Dalam Islam, interrelasi antar manusia setidaknya dibagi dalam tiga kategori keterhubungan solidaritas: solidaritas antar orang Islam, solidaritas antar warganegara dan solidaritas antar sesama manusia. Ketiga model kerangka solidaritas tersebut menjadikan antara individu satu dengan individu lain tidak pernah tidak saling terhubung. Kalau bukan karena kesamaan agama, individu satu dan lainnya terhubung karena kesamaan statusnya sebagai warga negara. Jika bukan karena kesamaan status kewarganegaraannya, maka terhubung karena keberadaannya di muka bumi ini sebagai sesama manusia: makhluk yang paling mulia di muka bumi dan paling kompleks misi dan tugasnya untuk memakmurkan alam semesta dan seisinya. Pendek kata, diantara manusia, selalu ada tali pengikat kebersamaan antar individu sehingga diharapkan untuk bisa saling mencegah dan merajut jika dirasa ada potensi untuk terputusnya kesalingterhubungan.

Khazanah fiqh Islam mengenal istilah dar al-harb dan dar al-salam. Dalam situasi ketegangan dan potensi kerusakan hubungan, dilukiskan kondisi manusia berada dalam konflik dan peperangan. Maka, berlaku hukum peperangan (dar al-harb), status kondisinya berada dalam teritori konflik dan perang. Berlakulah hukum perang. Sebaliknya, dalam situasi saling menyambung dan bekerjasama serta dalam keharmonisan, maka berlaku hukum perdamaian (dar al-salam).

Klasifikasi perang dan damai, sebenarnya melukiskan kondisi kehidupan manusia yang terlalu sederhana. Hitam putih. Tetapi, di dalam penyederhanaan klasifikasi tersebut, dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa damai sebenarnya lebih disukai. Perang harus dihindari. Perang hanyalah sebuah keterpaksaan. Karena kata Islam itu sendiri bermakna otentik dan generik sebagai sinonim dengan damai (salam). Itu berarti, orang Islam harus identik dengan dimensi damai. Karena dimaksudkan dalam alur pemahaman yang demikian, maka, baik al-Qur’an maupun al- Hadith banyak sekali menjelaskan tentang fondasi kebaikan untuk menuju masyarakat yang damai. Sebaliknya, keduanya mengisahkan adanya masyarakat yang brutal dan barbar yang tidak ada pedoman nilai yang berlaku karena situasi chaotic dan perang. Manusia diperintahkan untuk senantiasa dan berusaha untuk berada dalam kondisi damai, mencegah dirinya tercebur dan terjerumus dalam kondisi perang.

Dewasa ini, seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan semakin banyaknya pengalaman umat manusia dalam interaksi antar sesamanya, maka instrumen dan protokol peraturan untuk menuju kedamaian akan semakin dicari dan digandrungi. Baik dalam level lokal, nasional, regional maupun internasional. Sementara, faktor-faktor yang dapat memicu ketegangan, konflik dan peperangan akan semakin dicegah. Setidaknya, selalu ada kesepakatan-kesepakatan untuk pencegahannya. Tidak hanya mencegah secara kuratif, tetapi mencegah secara preventif, bahkan mencegah secara pre-emptif. Karena pencegahan dengan model demikian, maka bukan hanya tentang perlombaan senjata atau konflik fisik saja yang diupayakan untuk dicegah, tetapi potensi laten yang ada dalam individu, tradisi dan bahkan agama yang dapat memicu terjadinya ketegangan yang sewaktuwaktu dapat membesar menjadi konflik, dan peperangan juga dicegah. Sebut saja, perilaku individu dan primordialisme tradisi dan agama yang disalah tafsirkan sehingga menimbulkan diskriminasi, ketidakadilan dan intoleransi.

Kemajuan instrumen pencegahan di atas sangat mungkin untuk mengilhami lahirnya fiqh interaksi baru antar manusia yang lebih maju dan berdimensi untuk pencegahan juga. Tidak hanya berhenti pada klasifikasi dar al-harb dan dar al-salam, tetapi bisa meluas dan melebar menjadi fiqh toleransi antar kelompok, fiqh berbasis perdamaian dan fiqh yang mengeliminasi akar kekerasan, baik komunal maupun individual.

Buku yang ditulis oleh saudara Fahmi Majid menjadi salah satu upaya rintisan untuk menuju kepada pemahaman demikian. Sebagai karya ilmiah tentu karya tersebut (mungkin) masih mengandung perdebatan. Sangat boleh jadi, pembaca akan menyatakan bahwa riwayat hidup dan keterlibatan sosial ‘Abdallah ‘Azzam berbeda dengan Muhammad Sa’id Ramadan al- Buti. Oleh karenanya, tafsir dan penghayatan mereka tentang jihad juga berbeda. (Memaksa) menempatkan dan menyamaratakan pemaknaan jihad dari dua individu dengan setting sosio-historis yang berbeda, akan tidak adil dan tidak jujur. Bisa jadi akan muncul pendapat demikian. Tetapi, penulis juga berhak untuk menyatakan, bahwa penafsiran dan pemaknaan ‘Azzam tidak pada tempatnya juga untuk terus dipelihara dan diwariskan. Justru karena setting sosial-historis yang berbeda tersebut. Artinya, umat Islam di manapun berada, akan memiliki dinamika sendiri. Sangat boleh jadi, dinamika tersebut berbalik dan berbeda dengan dinamika di saat mana ‘Azzam hidup dan terlibat dalam persoalan zamannya.

Terlepas dari itu semua, setetes ilmu yang ada akan ikut menambahkan tetesan air yang sudah terkoleksi. Jika terus tetesan tersebut bertambah, apalagi menjadi semakin deras, tidak tertutup kemungkinan untuk menjadi danau air yang semakin dalam. Semoga buku ini akan mempercepat terbentuknya danau air tersebut.

Judul Buku : Nalar Fiqh ‘Ulama’ Kontemporer atas Hukum Jihad: Studi Komparasi Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti dan ‘Abdallah ‘Azzam
Penulis Buku : Fahmi Majid
Editor: M. Yusuf Efendy
Penerbit: A-Empat
Cetakan: Satu, Maret 2021
Ketebalan: xii + 229 halaman

Ukuran: 14,8 cm x 21 cm

ISBN : 978-602-0846-88-0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *