Teologi Islam untuk pertama kalinya muncul sebagai dampak dari pencaturan politik itern umat Islam, yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok religio-politik corak pemikiran teologi dari kelompok-kelompok religio-politik tersebut adalah tradisional dalam memperhatikan lebih menekankan pada produk penafsiran al-Qur’an secara tekstual sesuai dengan kecenderungan aspirasi politik masing-masing kelompok. Akibatnya teologi berfungsi sebagai sumber legitimasi politik masing-masing kelompok.
Akibat adanya perluasan wilayah Islam, umat Islam berhadapan dengan berbagai agama dan budaya dari bangsa-bangsa yang ditaklukan tersebut, akibatnya menimbulkan berbagai persoalan baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh umat Islam. Salah satunya adalah munculnya perdebatan-perdebatan disekitar konsep keutuhan antara para teolog muslim dengan tokoh agama non-Islam seperti Kristen, Yahudi, Zaroaster dan lain-lain.
Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sistem pemerintahan yang dijalankan adalah sistem kerajaan. Mu’awiyah nampaknya terpengaruh oleh budaya Siria, dengan meninggalkan gaya hidup sederhana masyarakat Arab. Dalam menjelaskan pemerintahannya Mu’awiyah berusaha menselaraskan antara unsur-unsur budaya Arab Jahiliah dengan Islam. Dalam aspek teologi Bani Umayyah menganut paham Jabariyah. Dinasti Umayyah kemudian digantikan oleh Dinasti Abbasiyah melalui revolusi. Maka wajarlah apabila hampir seluruh kebijaksaan politik Abbasiyah kemudian menjungkirbalikan kebijakan-kebijakan Bani Umayyah. Dalam bidang teologi Abbasiyah menganut paham kebebasan berkehendak (Qadariyah) yang oleh penguasa-penguasa Umayyah dipandang sesat. Itulah sebabnya Al-Mu’min menjadikan mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab negara, karena Mu’tazilah menganut kebebasan manusia. Disini terlihat bahwa unsur politik sangat mempengaruhi epistomologi teologi Islam.