Status Perempuan dalam Hukum Keluarga Islam Indonesia: Perspektif Fiqh dan CEDAW

Penulis: Fuad Masykur
Halaman: x + 323
Ukuran: 15,5 x 23 cm
Harga: Rp. 99.000

 

Tema ini dilatarbelakangi dari kegelisahan akademik mencermati pro kontra dimasyarakat seputar Pertama, Perdebatan tentang digulirkannya buku Counter Legal Draf KHI pada tahun 2005 oleh tim pengarusutamaan gender KEMENAG RI. Menurut sebagian ulama CLD KHI tersebut didalamnya tidak kurang dari 39 kesalahan. Sebagian yang lain mengalkulasi terdapat 19 kesalahan, karena itu harus segera dicabut dari peredaran agar tidak membingungkan dan semakin meresahkan masyarakat. Kedua, Perdebatan tetang Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama pada tahun 2009 yang di dalamnya memuat ketentuan pidana terkait dengan perkawinan sirri dan perkawinan mut’ah (kontrak). Ketiga, pada tahun 2012. Persoalan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi (judicial review) yang diajukan Machica Mochtar terhadap Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Keempat, di tahun 2011 ada kasus Halimah Choerunnisa yang merasa dirugikan karena secara sepihak diceraikan oleh Bambang Trihatmojo sang putra mantan presiden Suharto. Halimah mengajukan pengujian Pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan karena dinilai merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

Dalam mensikapi masalah diatas terpolarisai menjadi dua kelompok, ada kelompok yang melihat dengan paradigma Barat yang menganggap bahwa Hukum Keluarga Islam Indonesia harus diselaraskan dengan konvensi internasional CEDAW yang visi besarnya upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan persamaan hak dengan pria. Arus utama (mainstream) melihat Hukum Keluarga Islam Indonesia dengan cara pandang hukum syari’ah atau fiqh yang normatif, sehingga antipati terhadap CEDAW. Diskursus semacam ini juga sedang terjadi dan dialami oleh beberapa negara muslim di dunia dan akan terus menjadi perdebatan baik pada level nasional maupun internasional, mengingat setandar Hak Asasi Manusia internasional (CEDAW) telah mengklaim universalismenya yang artinya melalui berbagai instrumen-instrumen perjanjian internasional, PBB mewajibkan bagi negara-negara yang telah meratifikasinya untuk mengimplementasikan dalam aras negara, sementara negara-negara Islam, negara-negara yang kental dengan kultur ketimuran, berada pada status quo dengan mempertahankan konsep relatifisme kultur dan budaya masing-masing sehingga menganggap unsur-unsur HAM yang ada dalam elemen-elemen perjanjian internasional tersebut tidak harus diaplikasikan dalam ranah negara, sehingga tidak heran kendati mereka telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional namun mereka mengambil jalan reservasi (pemesanan) terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dari perjanjian-perjanjian internasional tersebut. Realitas menyatakan adanya perbedaan perinsip, standar nilai dan tatanan moral serta budaya yang ada di negara-negara Islam yang tidak selaras dengan universalisme HAM. Di sinilah letak problematikanya.

Dalam konteks konvensi CEDAW, Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut yang dengan demikian secara hukum berarti Indonesia telah terikat dengan CEDAW tersebut dan berkewajiban untuk memberikan laporan-laporan kemajuan (progress report) prihal implementasi CEDAW dinegaranya kepada badan-badan PBB yang menangani khusus bidang CEDAW. Khusus pada bidang Hukum Keluarga Islam, yang menjadi masalah adalah bahwa elemen-elemen subtansi CEDAW banyak yang tidak selaras dengan Hukum Keluarga Islam di Indonesia seperti UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, UU Peradilan Agama juga Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di tengah masyarakat pun terjadi pro kontra bahkan terjadi konflik dalam hal mensikapinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *