Penulis: Dr. Agus Ali Dzawafi, M.Fil.I.
Halaman: viii + 251
Ukuran: 18,21 x 25,7 cm
Harga: Rp. 105.000
Tazkiyat al-nafs bukan sekadar sebuah konsep teoritis, tetapi merupakan proses yang menuntut mujāhadah (kesungguhan) dan murāqabah (kesadaran spiritual) secara terus-menerus. Ia adalah perjalanan ruhani yang membutuhkan ilmu, amal, serta bimbingan dari wahyu dan keteladanan Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam. Penyucian jiwa, bukan hanya konsep spiritual personal dalam Islam, tetapi juga memiliki dampak yang sangat besar bagi kehidupan sosial, moral, dan kebangsaan. Dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk dan tengah menghadapi berbagai tantangan moral, sosial, dan struktural, tazkiyat al-nafs memiliki urgensi yang sangat tinggi. Tazkiyat al-nafs atau penyucian jiwa menanamkan nilai-nilai kejujuran, amanah, tanggung jawab, dan pengendalian diri. Nilai-nilai ini adalah fondasi integritas, yang sangat dibutuhkan oleh para pemimpin, aparatur negara, pendidik, maupun masyarakat umum. Bangsa yang diisi oleh individu-individu yang bersih jiwanya akan menjauh dari korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan krisis moral.
Tazkiyah al-nafs mendorong seseorang bekerja bukan hanya karena dorongan materi, tetapi juga karena dorongan nilai dan keikhlasan. Etos kerja yang dilandasi keikhlasan menghasilkan produktivitas dan kualitas kerja yang tinggi serta memperkuat ketahanan moral dalam menghadapi tantangan kehidupan. Banyak problem sosial—seperti kekerasan, intoleransi, narkoba, pornografi, hedonisme—berakar dari jiwa yang tidak terdidik dan tidak disucikan. Tazkiyat al-nafs mengajak manusia untuk mengendalikan hawa nafsu dan membangun kesadaran spiritual, yang akan berdampak pada terbentuknya masyarakat yang harmonis, santun, dan saling menghargai. Bangsa yang kuat bukan hanya karena senjata atau ekonomi, tapi karena karakter rakyatnya. Tazkiyah al-nafs memperkuat ketahanan spiritual dan moral rakyat. Ini adalah pondasi kebangsaan yang tahan terhadap ancaman perpecahan, hoaks, provokasi, dan infiltrasi ideologi-ideologi destruktif.
Abu Bakr al-Kattani mendefinisikan tasawuf sebagai penyucian (tasfiyah) dan penyaksian (mushāhadah). Definisi yang ringkas ini menggabungkan 2 unsur yaitu sarana dan tujuan. Sarananya adalah tasfiyah (tazkiyat) dan tujuannya adalah mushāhadah. Tujuan Tasawuf dari zaman ke zaman tidak pernah berubah, tetapi sarana atau wasilah yang dipakai berubah sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi manusia. Praktek penyucian jiwa pada komunitas tasawuf pada perkembangannya terlembagakan menjadi tarekat. Perkembangan tarekat diiringi juga dengan perkembangan atau modifikasi metode penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs). Seorang mursyid tarekat dapat mengubah atau menambah metode penyucian jiwa yang sesuai bagi murid-muridnya yang mempunyai perbedaan latar belakang. Sebagaimana para faqih berijtihad dalam masalah furu, para ahli hadis berijtihad dalam kaidah periwayatan dan sanad, para ahli tafsir berijtihad dalam metode pembahasan zat dan sifat, qada dan qadar begitu juga para mursyid tarekat berijtihad dalam metode penyucian jiwa. Pengangkatan mursyid baru dan ijtihadnya dalam menentukan metode penyucian jiwa menyebabkan banyak muncul tarekat baru yang terkadang juga diikuti dengan metode penyucian jiwa yang berbeda dari generasi sebelumnya. Sebagai contoh, Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai banyak cabang. Di antara cabang itu juga mempunyai sub-cabang lagi. Buku ini menjelaskan dinamika metode penyucian jiwa Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah Al-Aliyah (TNKA).