Penelitian ini menyimpulkan bahwa substansi hukum ekstradisi memiliki persamaan antara hukum Islam dan hukum internasional. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut; pertama, hukum Islam dan hukum Internasional sama-sama menerapkan prinsip double criminality dan tidak mengekstradisikan kejahatan politik, militer, agama, dan kejahatan yang berkaitan dengan ras, etnik, atau suku bangsa. Kedua, hukum Islam dan internasional memperbolehkan ekstradisi jika telah ada perjanjian antara kedua negara dan akan sah/resmi jika sudah ada perjanjian antara kedua negara. Ketiga, mengenai kedudukan pelaku korupsi yang diekstradisi, keduanya sama-sama menghormati dan melindungi hak asasinya sebagai manusia meskipun pelaku adalah orang yang bersalah dan menjadi tersangka. Keempat, hukum Islam dan hukum internasional juga sama-sama berkomitmen untuk menjadikan perjanjian ekstradisi sebagai sarana bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di dunia, karena korupsi merupakan bentuk kejahatan internasional yang disebut dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003, dimana negara Islam maupun non Islam sama-sama menandatangani konvensi internasional tersebut.
Persamaan substansi hukum ekstradisi ini, dikarenakan perjanjian ekstradisi merupakan hasil pemikiran atau ijtihad dari manusia yang keduanya sama-sama berorientasi mewujudkan, menjaga, dan memelihara keamanan dan ketertiban dunia. Perbedaan substansi hukum ekstradisi antara hukum Islam dan hukum internasional hanya terdapat dalam hukum prosedural mengenai peradilan in absentia bagi pelaku korupsi, karena hukum Islam tidak membenarkan pemeriksaan pengadilan atas suatu tuntutan tanpa kehadiran terdakwa. Mengenai pembagian negara menurut hukum Islam menjadi dar al-Islam dan dar al-Harb dalam proses ekstradisi pelaku tindak pidana tidak menjadi hambatan, karena negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian disebut dar al-‘Ahd yaitu suatu negara yang berhak mendapat jaminan keamanan. Hukum Islam mengenai ekstradisi dari segi filosofi lebih menekankan pada semangat terwujudnya keamanan dan ketentraman masyarakat secara umum, sementara dalam hukum internasional ekstradisi lebih menekankan pada sisi materi hukum yang tekstual, pengaruh, ataupun dampak yang ditimbulkan juga harus berakibat dan dirasakan langsung.
Penelitian ini mendukung pendapat Emilia Justyna Powell (2013), Abdullah Ahmed an-Na’im (2004), dan Mashood Baderin (2001) yang mengemukakan bahwa hukum Islam dan hukum internasional mempunyai kesamaan dan perbedaan di beberapa sisi, namun pada kondisi tertentu negara-negara yang menerapkan hukum Islam bersikap ramah terhadap hukum internasional. Relevansi antara hukum Islam dan hukum internasional juga secara praktis sudah terbukti dengan banyaknya rujukan hukum Islam dalam berbagai argumen dan laporan negara-negara Muslim ke piagam PBB dan komitekomite perjanjian hak asasi manusia. Penelitian ini menolak pendapat Ebrahim Afsah (2008), Anicee van Engelan (2006), dan Ralph H. Salmi, dan George K. Tanham (1998) yang mengatakan bahwa adanya benturan antara hukum Islam dan hukum internasional dalam bidang hukum humaniter, karena hukum Islam kurang rasa hormat terhadap hukum kemanusiaan internasional dan konstitusi hukum Islam dan hukum internasional adalah dua entitas yang berbeda.