Melalui penelitian ini, penulis mendapatkan dua kesimpulan pokok. Pertama, bahwa formasi nalar internasionalisasi tumbuh bersamaan dengan transformasi sosial menuju masyarakat pasca-industri. Dengan demikian logika perumusan, kelahiran, model evaluasi dan pengembangannya didasarkan pada arus industrialisasi global. Hal itu bisa ditengarai dari isu yang mengemuka adalah peningkatan kualitas pendidikan, sebagai upaya untuk 1) memenuhi kebutuhan modernitas; 2) mengejar ketertinggalan dalam pertumbuhan industri; 3) meningkatkan daya saing dengan negara-negara berkembang-maju lainnya.
Dalam rangka itu, pemerintah memiliki peran signifikan melalui regulasi serupa keterlibatan dalam OECD, PISA, penetapan SNP, dan beberapa UU dan Peraturan yang mendukung orientasi pendidikan ke arah industrialisasi dan globalisasi. Namun, dalam hal ini pemerintah hanya memainkan peran pendukung, sebatas legislasi dan legalisasi orientasi sebuah kelompok yang memainkan peran utama, yaitu kelas menengah borjuis.
Pada dasarnya diksi transformasi sosial, industrialisasi dan modernisasi sosial dapat ditandai sebagai sinyalemen keterlibatan kelas menengah borjuis sebagai aktor utama. Mereka adalah sebuah kelas sosial yang memiliki kecenderungan liberalism politik-ekonomi, relativisme kultural dalam arti mengaburkan sekat-sekat identitas nasional, dan pemikiran keagamaan yang progresif. Sangat wajar jika ide yang diusung dalam bidang pendidikan adalah pendidikan yang berkualitas, penyiapan sumber daya manusia yang kompetitif dan berdaya saing. Semua itu dicanangkan dapat terealisasi dalam program internasionalisasi pendidikan, dengan menempatkan wawasan internasional dan iklim pasar global sebagai orientasi pendidikan.
Kedua, orientasi sistem internasionalisasi yang apolitis bahkan cenderung depolitis tidak berarti bahwa ia hanya bergerak dalam bidang pendidikan an sich, atau semata-mata dimaksudkan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan output SDM yang dihasilkan. Depolitisasi ala kelas menengah dalam bidang pendidikan merupakan ideologisasi kepentingan mereka, mengingat pendidikan merupakan superstruktur yang mencerminkan ideologi kelas.
Dalam hal ini, penulis menemukan titik lemah internasionalisasi sebagai orientasi pendidikan nasional, karena tiga alasan. Alasan pertama, internasionalisasi pendidikan hanya menguntungkan kelas menengah, baik nasional maupun global, dengan mengabaikan kepentingan nasional, dan kebutuhan rakyat lokal. Alasan kedua, program ini membunuh potensi kearifan lokal sebagai muara pengembangan keilmuan. Alasan ketiga, internasionalisasi juga berarti dehumanisasi, yaitu menempatkan rakyat Indonesia hanya sebagai tuas mesin besar globalisasi, menjadi korban kolonialisasi ekonomi-budaya global, tanpa kesempatan menjadi subjek aktif yang terlibat dalam mengevaluasi sistem. Alasan terakhir ini dapat dijabarkan, bahwa output unggulan pun pada saatnya akan tergilas oleh sistem yang memiliki tingkat perubahan sosial yang cepat.