Mempelajari sejarah kebudayaan Islam bukan saja dapat membantu dalam memahami disiplin ilmu-ilmu keislaman lainnya yang sebagian besar merupakan produk sejarah, seperti kalam, yurisprudensi Islam (fiqh), tasawuf dan lainnya, tetapi yang barangkali mendesak dan penting ialah masa lalu (yang merupakan inti dari sejarah itu), dapat dijadikan sebagai cermin dan pedoman dalam mengarungi bahtera kehidupan kini dan masa mendatang. Karena ada tidak sedikit dari warisan masa lalu itu yang perlu dipelihara, dijaga dan diteruskan atau dikembangkan, karena warisan tersebut telah terbukti dan teruji manfaatnya bagi kehidupan umat Islam khususnya bahkan juga bagi umat manusia secara keseluruhan. Pengalaman pahit orang-orang terdahulu yang telah menyebabkan mereka harus menanggung derita, yang mungkin juga penderitaan itu masih kita rasakan sampai sekarang, sepatutnyalah kita kaji agar tidak terulang kembali, karenanya, tepatlah kalau Ibn Khaldun menjadikan sejarah sebagai lil Ibar. Bahkan lebih jauh, Mantan menteri Agama Republik Indonesia, Mukti Ali, mensinyalir bahwa salah satu pendekatan yang sangat penting untuk memahami ajaran Islam yaitu dengan cara mempelajari sejarah Islam itu sendiri, karena dengan cara itu kita akan memahami bagaimana Islam dipahami dan dipraktekkan oleh umat Islam dalam sejarah.
Buku ini mencoba mendeskripsikan hasil rekonstruksi masa lalu yang telah diupayakan oleh para ahli sejarah, vii dengan mencoba melakukan kritik terhadap peristiwa-peristiwa yang muncul dalam sejarah berdasarkan prinsip-prinsip kausaitas dan rasionalitas. Cara ini kami lakukan karena pada prinsipnya munculnya suatu peristiwa tentu tidak berdiri sendiri, tetapi banyak faktor yang mengantarkannya, meskipun terkadang faktor yang kita pandang sebagai faktor utama tidak bersifat mutlak, karena dalam menentukan suatu faktor utama tidak terlepas dari berbagai kepentingan yang mengiringinya. Ibn Khaldun dalam karyanya yang fundamental, Muqaddimah, mengemukakan bahwa distorsi terhadap historiografi (Islam) adalah banyaknya kepentingan-kepentingan politis dan fanatisme kesukuan dan golongan. Sebagai konsekuensinya, karya yang dihasilkannya sulit untuk bisa dikatakan obyektif. Terlepas dari hal itu, bila dilihat dari perspektif makna kebenaran ilmu, bersifat relatif, termasuk tentunya sejarah sebagai ilmu.