Tema-Tema Utama Linguistik dalam Adab Al-Katib Karya Monumental Ibn Qutaibah

Banyak kajian yang ditujukan untuk membahas pandangan-pandangan Ibnu Qutaibah, terutama yang terkait dengan al-Qur’an dan Hadis. Sebagai penganut Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, Ibnu Qutaibah memang memperuntukkan karya-karyanya untuk memahami sumber utama ajaran agama Islam itu, sekaligus membela aliran teologis yang ia anut. Ia juga dikenal sebagai tokoh awal di bidang kritik sastra Arab, khususnya lewat karyanya al-Syiʻru wa al-Syuʻara’. Sayangnya, sebatas pengamatan saya tidak banyak yang mengkaji pemikiran linguistiknya. Besar kemungkinan, hal ini disebabkan karena pandangan-pandangan linguistiknya itu disampaikan di tengah-tengah produk penafsiran yang ia tawarkan, baik terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n maupun hadi>s| Nabi, sehingga ia lebih dikenal sebagai tokoh di bidang ilmu-ilmu syari’at daripada ilmu-ilmu kebahasaan.

Pada bagian pertama dari buku ini diperkenalkan sosok Ibnu Qutaibah yang diawali dengan nama lengkapnya, pendidikannya, dan guru-guru yang turut membentuk cara berpikirnya. Tidak luput dari bagian pertama ini adalah karya-karya Ibnu Qutaibah di berbagai wilayah keilmuan. Karya-karya tersebut menjadi bukti tentang luasnya kapasitas keilmuan Ibnu Qutaibah. Kitab Adab al-Katib mendapat sorotan khusus di bagian yang ditulis oleh Haidar Al Faqih.

Berikutnya, bab kedua dari buku ini membahas tentang Homonim, salah satu fitur dari musytarak lafzi yang belakangan banyak menyedot perhatian para linguis Arab. Homograf, satu dari dua jenis homonym, menurut perhitungan setidaknya terdapat 72 kata yang didaftar oleh Ibnu Qutaibah dalam bukunya, yang memerlukan kerja hati-hati peneliti untuk menghitungnya dari beberapa bab yang berbeda. Ibnu Qutaibah membedakan, misalnya kata al-juhd dengan al-jahd yang dalam leter Arab ditulis sama, namun sering tidak dibedakan oleh orang Arab sendiri. Padahal, yang pertama berarti usaha, sedangkan yang kedua lelah, sulit. Jenis kedua, yaitu homofon, Ibnu Qutaibah mendaftar kata-kata yang terdengar sama, tetapi (harus) dibedakan dalam penulisan, seperti kata Hawa yang berarti udara dan nafsu. Untuk diingat, di sebagian dialek Arab, hamzah tidak dibunyikan. Tidak lupa, pada bagian ini peneliti, Ahmad Firman Mujahid menyinggung soal fenomena kata turunan yang berasal dari kata dasar yang berbeda-beda yang, menurut Ibnu Qutaibah, menjadi salah satu kekhasan bahasa Arab.

Pada bab ketiga dari buku ini, Radia Suherdis menyorot pandangan Ibnu Qutaibah mengenai sinonim. Seagaimana maklum di kalangan pengkaji bahasa Arab, sinonim merupakan salah satu fenomena kebahasaan yang menjadi kekayaan bahasa Arab. Dengan telaten peneliti menghitung 251 kosa kata sinonim yang didaftar oleh Ibnu Qutaibah dalam bukunya. Yang menarik dari pembahasan ini adalah bagaimana peneliti membuat klasifikasi dari sinonim dalam pandangan Ibnu Qutaibah, di antaranya adalah sinonimitas dalam pola kata (wazan) yang berbeda, misalnya pola afʻala yang bersinonim dengan faʻala dengan sederet contohnya. Dijelaskan juga pada bab III ini bagaimana Ibnu Qutaibah membuat klasifikasi kata menjadi hiponim dan pipernim yang menunjukkan sikap penerimaan linguis tersebut terhadap fenomena kebahasaan ini, dengan ketelitian yang tinggi dalam pembedaan makna.

Bagian selanjutnya membahas pandangan Ibnu Qutaibah tentang antonim. Yang unik dari bahasa Arab, antonym yang dimaksudkan di sini bukanlah dua kata dengan makna yang berlawanan, melainkan satu kata yang memiliki dua makna yang saling bertentangan. Fenomena ini dikenal dengan nama at-tadad, yang sebenarnya menjadi bagian dari musytarak lafzi jika dilihat dari sisi dualisme makna dalam suatu kata, dan menariknya dieksklusi dari musytarak lafzi oleh penulis dengan mengacu pada aspek maknanya yang saling bertentangan. Penting untuk dicatat, bahwa sejumlah persoalan yang disampaikan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab Adab al-Katib dibahas juga secara lebih rinci dalam bukunya yang lain, misalnya Ta’wil Musykil al-Qur’an. Pada buku yang terakhir ini, Ibnu Qutaibah menyoal filosofi pertentangan makna, yang didasarkan antara lain pada sudut pandang dan juga faktor psikologis. Terlepas dari itu, melalui bab empat yang ditulis oleh Ridho Pangestu ini, kita bisa melihat bagaimana Ibnu Qutaibah turut berkontribusi dalam diskusi awal tentang fenomena kebahasaan yang baru dibuat istilahnya jauh setelah jaman Ibnu Qutaibah ini.

Keunikan lain dari Adab al-Katib diperlihatkan dalam bab kelima dari buku ini, yaitu terkait dengan ide penamaan orang Arab dengan nama hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan dengan nama-nama hama. Tidak heran jika membuka literature klasik Arab-Muslim, kita menemukan sejumlah tokoh yang namanya barangkali ganjil menurut sebagian kita, seperti Al-Kalbi (anjing), al-Hanzalah (labu), Al-Mazini (semut putih), dan Saʻlabah (rubah betina), dan lain sebagainya. Bagian ini disampaikan oleh Ardi Maulana Bhakti; dan saya turut memperkaya pembahasannya.

Berikutnya, bentuk tunggal dan jamak telah menjadi persoalan tersendiri dalam menggunakan bahasa Arab. Pertama, bahasa Arab mengenal bentuk musanna (bilangan dua) di dalam kata benda dan juga kata verba-nya. Selanjutnya, bentuk jamak (plural) tidak dapat dilakukan dengan pengulangan kata seperti dalam bahasa Arab, atau dengan sekadar menambahkan akhiran “s” seperti dalam bahasa Inggris. Mengubah bentuk tunggal ke dalam jamak harus merubah pola kata (wazan), yang mana pola tersebut berbeda-beda satu sama lain. Pada bab enam yang ditulis Hasanudin dari buku ini, dibahas tentang pola kata-kata yang rancu. Ada yang rancu pada bentuk tunggalnya, ada juga yang rancu pada bentuk jamaknya. Yang menarik pembahasan di bab ini, kata-kata yang diklasifikasikan oleh Ibnu Qutaibah tersebut coba ditelusuri dalam kamus-kamus besar karena tidak dibahas di buku-buku Nahwu. Di sisi inilah pembahasan Ibnu Qutaibah menjadi unik.

Selain tunggal dan jamak, konsep gender dalam bahasa Arab, yang dibahas pada bab ketujuh dari buku ini oleh Engkus Apriyana, tidak lepas dari pandangan Ibnu Qutaibah. Bagi penutur sebuah bahasa yang tidak ketat dengan pembedaan gender, isu tentang maskulin dan feminine bisa menjadi masalah yang serius dalam menggunakan bahasa Arab. Tetapi tingkat penggunaan salah satunya yang lebih tinggi dari yang lain dapat menimbulkan dugaan lain: bias gender. Karenanya, pada bab ini dibahas pandangan para grammarian Arab tentang konsep muzakkar dan mu’annas, tidak terkecuali pandangan Ibnu Qutaibah kesalahan berbahasa yang sering terjadi, bahkan di kalangan masyarakat Arab sendiri.

Bab terakhir dari buku ini membahas tentang konsep leksikologi Ibnu Qutaibah. Banyak yang membahas perbedaan antara kata basyar, adam, dan insan yang sama-sama berarti manusia. Tetapi yang menarik, Ibnu Qutaibah meletakkannya dalam bingkai furuq lugawiyah wa dalaliyah, yang sebetulnya berkaitan erat dengan tema tentang sinonim di atas. Maka berbasis daftar kosa kata yang diklasifikasi oleh Ibnu Qutaibah menurut medan makna tertentu, Iqval Febriyan mampu menggali pandangan linguistic Ibnu Qutaibah. Dan lebih menarik lagi, pandangan Ibnu Qutaibah tersebut kemudian di-“adu” dengan teori linguis modern, seperti Augene Nida. Peneliti sampai pada kesimpulan bahwa kitab Adab al-Katib [hingga pada batas tertentu, ed.] dapat disebut sebagai kamus.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *