Komunikasi politik dari Khas tentang posisi Pancasila dan Islam dalam konteks hubungan agama dan negara merupakan aktualisasi dari bentuk atau corak dakwah wasaṭhiyah (moderat). Menurutnya, karena Pancasila bukan agama, maka semua sila-sila dalam Pancasila yang berintikan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial selaras, senada seirama, seharmoni dan tidak bertentangan atau berseberangan kandungannya dengan ajaran agama Islam. Bahkan, falsafah Pancasila juga bersahabat dengan semua agama dan keyakinan di Indonesia.
Proses komunikasi politik terhadap Pancasila sebagai ideologi dan filosofi bangsa Indonesia secara waṣaṭhiyah sedari awal hingga kini telah terbukti mampu mempersatukan segenap komponen bangsa secara demokratis. Komunikasi politik waṣaṭiyyah dari Khas atas Pancasila, meminjam istilah dari Azyumardi Azra dan Heffner, telah menjadi acuan bersama untuk membentuk demokrasi keadaban (civilitized democracy) dan keadaban demokratis (democratic civility) bagi bangsa Indonesia. Namun demikian, sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, harus melandasi dan menjiwai atau menjadi ruh bagi sila-sila lainnya. Dengan kata lain, semakin Pancasila itu ditafsiri berlandaskan atas ketuhanan pada sila-silanya, maka ia semakin bercorak demokratis dan sosial-religius. Sebaliknya, semakin Pancasila itu ditafsiri dengan memisahkan ruh ketuhanan yang berdiri sendiri atau tidak menjiwai sila-sila yang lain, maka ia semakin bercorak sekulerisme.
Sekulerisme bertentangan secara konstitusional di Indonesia karena ketika kali pertama Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa dijadikan sebagai kalimatun sawa’ (common platform) yang berketuhanan. Bagi bangsa Indonesia, menurut dakwah kebangsaan Khas, Pancasila merupakan kalimatun sawa’ yang menyatukan keragaman etnis, ras, budaya dan agama. Manifestasi dakwah wasaṭiyyah Khas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada intinya terdiri dari tiga hal, yaitu: a) NKRI yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya; b) Penguasa/pemerintah yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyelewengkan, memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah SWT; c) Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui jalur konstitusional dan dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya.
Menifestasi ajaran Ahlussunnah waljamaáh (Aswaja) tersebut dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara telah terimplementasikan oleh pemikiran dan gerakan dakwah Khas dalam bersumbangsih memperkuat dan memperkokoh kesuatuan bangsa Indonesia. Khas bersama organisasi NU sebagai civil society telah mempraktikkan bagaimana agama dan nasionalisme tidak bertentangan, bahkan saling memperkuat sehingga nasionalisme tidak kering dan mempunyai pijakan moral, sedangkan agama tidak kehilangan pijakan dakwahnya.