Masyarakat Nusantara mengakui madzhab teologi salaf Asy’ariyah. Dikenal dengan sifat 20. Senandung sya’ir wujud, qidam, baqa’ dan seterusnya sering terdengar dari pengeras suara majlis taklim, mushalla dan masjid. Hal ini menandakan bahwa mayoritas muslim Indonesia menganut kajian Tauhid Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.
Akan tetapi dewasa ini muncul pemikiran baru dari luar Indonesia yang menyatakan pemikiran teologi Asy’ariyah berada dalam keses
atan dan menyangkakan para ulama’ Asy’ariyah melakukan penodaan terhadap agama dan menghina kesucian Allah. Anggapan ini sangat tidak berdasar karena mereka tidak mengerti secara mendalam hakikat madzhab Asy’ariyah serta tidak mengenal siapakah ulama’ Asy’ariyah yang merumuskan kajian akidah dari al-Qur’an dan hadis. Ketidak-mengertian mereka terhadap madzhab Asy’ariyah adalah penyebab perpecahan, hingga saat ini mereka menganggap madzhab Asy’ariyah sebagai golongan yang sesat.
Sejak ratusan tahun lalu, ulama Asy’ariyah merupakan ulama yang menjadi petunjuk hidayah bagi umat. Mereka adalah orang berilmu tinggi yang diakui kemuliaannya dari timur ke barat. Mereka ini yang disebut ulama’ ahlu sunnah wal jama’ah yang mengkanter penyebaran aliran mu’tazilah. Ibnu Taimiyah termasuk penganut Asy’ariyah, beliau berkata dalam kumpulan fatwanya: “Ulama adalah para penolong ilmu agama, sedangkan ulama’ Asy’ariyah adalah penolong akidah agama”.
Pengikut Asy’ariya
h merupakan perkumpulan ulama hadis seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama fiqh seperti Imam Nawawi, dan ulama tafsir seperti Imam Qurhubi. Kebaikan apa yang diharapkan bila seseorang menuduh para ulama yang mulia dan para pendahulu yang sholih dengan anggapan sesat dan menyimpang dari ajaran yang benar? Bagaimana Allah akan membuka hati mereka untuk dapat mengambil ilmu mereka, jika mereka menyakini bahwa dalam ilmu-ilmu ulama ahlu sunnah wal jama’ah terdapat penyimpangan dari ajaran Islam?
Syeikh Muhammad al Maliki berkata “Apakah ada ulama bergelar Doktor atau Profesor di zaman ini yang merasa mampu menempati posisi Syeikh Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam Nawawi dalam melayani sunnah Nabi dengan kajiannya dan hasil ijtihadnya? Lalu bagaimana mereka menuduh keduanya (Syeikh Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam Nawawi) dan ulama madzhab Asy’ariyah lainnya dengan sesat, sedangkan mereka membutuhkan ilmu dari para pendahulu? Imam Ibnu Sirin berkata: “Sesungguhnya ilmu adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama”.
Tidak cukup bagi mereka yang menghardik ulama terdahulu dan mengatakan: “Sesungguhnya mereka (ulama Asy’ariyah) telah berijtihad lalu mereka salah dalam mentakwil sifat-sifat, maka lebih baik mereka (ulama) untuk tidak mengikuti jalan yang salah”. Para penghardik sangat benci terhadap seseorang yang menyebut dan mengakui ulama Asy’ariyah adalah ahlu sunnah wal jama’ah. Jika Imam an Nawawi, Imam al Asqalani, al Qurthubi, Imam al Baqilani, Imam al Fakhr ar Razi, Imam al-Haitami, Imam Zakariya al-Anshari dan ulama-ulama besar lainnya tidak termasuk bagian dari ahli sunnah wal jama’ah, lalu siapakah ahli sunnah?
Berharap kepada orang-orang yang kecimpung dalam urusan da’wah Islam, takutlah kalian kepada Allah dalam umat Muhammad, terlebih dalam urusan para ulamanya yang mulia, karena umat Muhammad tetap berada dalam kebaikan hingga datangnya hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita, jika kita tidak mengenal derajat dan kemuliaan para ulama kita.
Penulisan buku akidah Salaf Asy’ariyah untuk dijadikan modul pembelajaran ilmu Tauhid di Pondok Pesantren Al-Hasaniyah KH. Muhammad Zarkasyi. Rawalini Teluknaga Tangerang Banten dengan tujuan sebagai langkah penguatan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, bukan untuk menghakimi mereka yang berfaham mujasimah dan mu’tazilah.