Penelitian ini membuktikan bahwa meluasnya jaringan terorisme internasional tidak terlepas dari perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan miskonsepsi hukum Islam. Teroris memanfaatkan teknologi Internet untuk melakukan berbagai aksinya menghancurkan mental musuhnya. Bentuk dari cyber terrorism tersebut adalah pengendalian dan pengelolaan jaringan terorisme melalui Internet ke seluruh dunia dengan landasan Islam yang non-syar’i. Motivasi dari aksi cyber terrorism adalah untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu dengan tujuan melumpuhkan infrastruktur secara internasional, menekan, dan mengintimidasi kegiatan pemerintah serta masyarakat sipil dalam rangka menunjukkan eksistensinya di panggung dunia, bukan atas dasar nilai-nilai Islam yang luhur untuk tegaknya masyarakat madani. Oleh sebab itu, cyber terrorism haram dilakukan karena mengganggu eksistensi negara.
Pelaku cyber terrorism hanya bersifat menakut-nakuti orang, membuat ketegangan, dan mengganggu keamanan, maka hukum Islam mengualifikasikan tindak pidana cyber terrorism ke dalam kategori hirabah. Namun atas unsur tersebut para muharib hanya diberi hukuman pengasingan, karena muharib tidak membunuh orang. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal di dasarkan atas firman Allah SWT QS. al-Maidah 5: 33. Menurut Imam Syafi’i hukumannya adalah ta’zir atau diasingkan, sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa penguasa berhak memilih antara menghukum mati muharib, menyalibkan, memotong tangan, atau mengasingkan. Menurut Imam tersebut, lamanya masa pengasingan tidak ditentukan. Muharib akan terus ditahan sampai ia terlihat
bertaubat dan sikapnya menjadi baik, barulah ia dibebaskan. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa lamanya masa pengasingan adalah satu tahun, dianalogikan dengan hukuman pengasingan atas tindak pidana zina.